Saturday, July 20, 2019

Survival of The Least Fit

Kita sering menyatakan bahwa sebab-akibat merupakan sebuah hal yang tidak dapat dipisahkan. Sebab pasti akan menyebabkan sebuah akibat. Namun, sebab-akibat merupakan dua kejadian yang sangat berbeda. Misalkan, kita ambil sebuah contoh:

- Kejadian 1: Gelas cangkir jatuh dari atas meja.
- Kejadian 2: Gelas pecah berkeping-keping.

Mudah sekali kita menyimpulkan bahwa gelas yang pecah karena jatuh dari meja. Pikiran manusia bekerja secara efisien dengan membuat sebuah sistem automasi sehingga lewat satu kejadian, kita bisa memproyeksikan apa yang akan terjadi di masa depan. Hal ini tentu saja merupakan bagian dari sistim survival yang dmiliki oleh manusia sejak jaman primitif yang membantu kita untuk bisa bertahan hidup. Contoh lain: makan akan menghilangkan rasa lapar. Padahal kegiatan lapar dan rasa kenyang adalah dua peristiwa yang berbeda. Sifat heuristik dimliki oleh manusia lewat laku hidup yang telah ditumpuk selama bertahun-tahun hidupnya menjadi modal untuk menghadapi apa yang ada di depan. Ia akan membentuk menjadi sebuah kebiasaan dan pada akhirnya tercermin dari perilaku yang ditimbulkan dalam kehdiupan sehari-hari. Pengalaman akan membuat sebuah kebiasaan.

=================================================================

Hal sebagaimana saya diungkapkan diatas merupakan hal yang sudah jamak diketahui oleh banyak orang. Namun, pernahkan kita berpikir mengenai sebuah ketidak-pastian dalam hidup, mengenai keter-acakan sehingga kita tidak lagi menganggap hubungan sebab-akibat menjadi sebuah hal yang berkesatuan, tetapi satu peristiwa yang memiliki ekspektasi tinggi ke peristiwa selanjutnya yang kita projeksikan. Dengan cara seperti ini, kita berusaha untuk menilai sesuatu secara wajar apa adanya.

Kenapa kita harus melakukan yang demikian?

Karena begitulah cara alam bekerja. Kita pikir kita bisa mengetahui segalanya dalam hidup ini. Faktanya banyak sekali hal yang tidak dapat kita ketahui dibanding apa yang kita ketahui. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi 5 menit, 10 menit ke depan. Kita tidak bisa mengetahui apa yang ada di seberang tembok rumah kita. Kita tidak dapat mengetahui apa yang dilakukan oleh anak-istri kita saat kita bekerja. Di dalam hidup, ada sesuatu hal yang dapat kita jangkau dan diluar hal tersebut ada selubung misteri yang tidak akan mampu kita kontrol. Maka, dari itu, kita harus menyediakan ruang untuk keter-acakan ini dalam hidup. Yang bisa kita lakukan adalah memperbesar medan energi agar sesuatu yang kita kehendaki menghampiri diri kita. Jika tidak, kita akan terjebak pada ilusi persepsi yang kita buat, yang akan mengarah ke perilaku yang tidak rasional.

Survival of the least fit

Kita mengenal sebuah peribahasa "What doesn't kill you, make you stronger". Tubuh manusia memiliki pola adaptasi tertentu terhadap lingkungan. Ibarat, jika ia terkena virus, maka akan ada dua akibat: mati atau bertahan hidup. Jika ia mampu bertahan hidup, maka tubuh akan membentuk antibodi dimana virus tersebut akan dimusnahkan dan tubuh menjadi lebih kebal terhadap serangan virus tersebut di kemudian hari. Maka, mereka yang bertahan hidup hanyalah mereka yang sebelumnya terserang malapetaka yang merugikan dari mereka, namun berhasil menghadapinya.

Malapetaka bisa jadi adalah bagian dari keteracakan dalam hidup sebab jika kita berpikir logis, tentu kita tidak menginginkan sesuatu yang buruk terjadi pada diri kita. Ia adalah beban yang kadang harus kita pikul dalam hidup. Namun tiap besaran beban akan mempengaruhi kinerja otot. jika ia terus dilatih, maka otot tubuh tersebut akan membesar dan kuat. 

Malapetaka ini bisa jadi kita cari, dekati dalam hidup kita untuk mengisi rongga yang kosong dalam diri kita. Manusia butuh arti dalam menjalani hidup karena ia diberi kemampuan untuk berpikir yang membedakannya dengan makhluk hewani. Akan tiba suatu masa, ketika manusia mempersoalkan hidupnya dengan sebuah pertanyaan, "apakah hidup yang saya jalani ini, benar-benar layak untuk dijalani ?"  

Thursday, July 11, 2019

Payung yang Menjadi Ember

Saat masih mahasiswa, saya pernah menghadiri sebuah acara alumni di luar kota. Acara ini adalah sebuah acara rutin yang digelar oleh tiap-tiap komunitas di bulan suci ramadhan dengan tajuk "Buka Bersama". Alumni yang menjadi host, tentu saja sudah barang tentu adalah alumni yang sudah menduduki posisi yang tinggi di sebuah perusahaan. Jika saya tidak salah, acara "Buka Bersama" tersebut diadakan di rumah dinas perusahaan.

Skip ...

Aniwei, kita tidak akan membahas mengenai seluk beluk acara tersebut lebih lanjut. Tetapi, ada salah satu hal dalam memori saya yang masih terbekas hingga saat ini. Ada salah seorang pembicara pada acara tersebut yang berbicara mengenai rizki. Ia berkata ... Rizki atau rezeki atau kekayaan ibarat hujan. Hujan turun dari atas langit, jatuh ke bumi dan mengenai semua orang yang ada di muka bumi. Intinya, pembicara tersebut seolah ingin berkata bahwa semua orang pasti mendapatkan rejeki dari Tuhan. Namun, yang membedakannya adalah bagaimana manusia menampung air rejeki hujan yang diturunkan oleh Tuhan ke muka bumi. Ada yang hanya memakai ember kecil, ada yang memakai tong, ada yang memakai payungnya sebagai ember untuk menadah air hujan tersebut dan sebagainya. Bahkan ada juga yang cuma memakai tangan kosong, sehingga rejeki itu hanya lewat saja. 

Kesimpulan yang saya ambil adalah rejeki itu adalah sesuatu hal yang melimpah ruah. Semua yang terlahir di dunia ini pasti akan terkena paling tidak cipratannya karena ia merupakan bagian dari dinamika kehidupan dari sebuah sistem besar yang saling mendukung agar bisa berkelanjutan. Namun, rejeki yang diterima orang menjadi berbeda-beda karena bagaimana mereka "menangkap" rejeki.  

Cara berpikir dengan menganggap rejeki bagaikan air hujan adalah salah satu contoh prinsip mentalitas berkelimpahan (abundance mentality). Dan, menurut saya patut untuk dimiliki jika kita ingin hidup dalam jangka waktu yang panjang. Jika kita hanya melihat sesuatu hanya dalam keadaan terbatas, akan tiba suatu saat ketika kita mendapatkan sesuatu yang kita inginkan, namun dengan pengorbanan yang tidak sepadan. Sunk Cost Fallacy.

Apakah kita lebih tertarik dengan bagaimana cara kita memperbesar cawan untuk menangkap air hujan? Jika demikian dimanakah letak mentalitas berkelimpahan itu? Saya ingat sebuah cerita tentang seorang yang mengambil air di sebuah sumur dengan menggunakan timba bocor. Bolak balik ia mengambil air di sumur dan membawanya pulang dengan menggunakan timba bocor. Sesampainya di rumah, air bersisa sedikit karena banyak yang jatuh di perjalanan. Tentu, jika kita melihat hal tersebut adalah sebuah perjalanan yang sia-sia saja. Namun, tanpa kita sadari, tanah yang ia lalui mondar-mandir dalam memikul air menjadi subur karena terkena air yang mengucur keluar lewat bocoran timba.

Perfect is not real. It doesn't exist. Only in our imagination. Menginginkan sebuah hal benar-benar sempurna adalah sesuatu yang tidak nyata dalam hidup. Sempurna adalah sebuah umpan yang mampu membuat kita jungkir balik dalam hidup ini mencarinya, yang tanpa sadar membuat kita terjebak dan mensabotase diri kita sendiri. Maka, menerima sesuatu yang apa adanya sesungguhnya adalah laku mental berkelimpahan. Setelah itu, baru diikuti langkah bagaimana cara memperbesar kapasitas kita dalam menampung limpahan air hujan dari apa yang kita miliki. Jika kita hanya punya payung, kita bisa mengubah payung jadi ember. Manusia otentik adalah ia yang menerima dirinya sendiri seutuhnya dalam lakunya.      

Sunday, July 15, 2018

Things We Wanted


Silahkan kunjungi situs aslinya disini.

Tak ada orang hidup didunia ini yang tak memiliki keinginan. Sebab, semua manusia memiliki antena yang bisa merasakan segala sesuatu. Senang, susah, sedih, bahagia.Semua mixed feeling itu kita semua alami tiap waktu sebagai respon dari tiap kondisi yang kita alami. Tentu, ego manusia adalah selalu merasakan keadaan senang dan bahagia. Maka, segala sesuatu yang dilakukan adalah untuk meraih simbol-simbol kebahagiaan.

Tentu saja simbol kebahagiaan adalah sesuatu yang terpisah dengan apa yang kita inginkan. Bahagia itu sifatnya abstrak, yang hanya bisa dirasakan dengan hati. Meskipun demikian, manusia hidup dalam sebuah komunitas dan lingkungan yang mampu memberikan social pressure bahwa kebahagiaan orang bisa tercapai apabila simbol kebahagiaan telah didapatkan.

Kita tidak akan mendebatkan hal tersebut. Tetapi, alangkah lebih baik membahas sebuah hal yang lebih practical tentang bagaimana mengelola diri kita agar kita tidak kehabisan bahan bakar atau burn out dalam meraih mimpi apapun yang kita inginkan. Konsistensi itu adalah hal yang sulit. Sebagaimana dinyatakan, manusia itu memiliki mixed feeling dari jam ke jam. Jika mood sedang jelek, seharian kita bisa saja hanya berbaring di tempat tidur. Konsistensi adalah daya tahan atau endurance. Bagaimana kita bisa konsisten dalam meraih apa yang kita inginkan?

Saya kira hal ini penting untuk dibahas daripada berkelumit dengan hal yang tujuannya adalah sekedar mencari-cari alasan atas kondisi mengapa kita belum bisa mencapai apa yang kita inginkan hingga saat ini.

Kiranya, beberapa baris diatas cukuplah sebagai awalan dalam membuka sebuah topik mengenai hal yang kita kejar dalam hidup. Kita akan menyelam lebih dalam lagi pada tulisan selanjutnya.

Keep Stay Tuned

Sunday, January 28, 2018

OfficeCorner: The focus must be on yourself

Ada sebuah jokes tentang seorang bos yang datang ke kantor pada suatu hari dan menunjukkan mobil barunya kepada salah seorang karyawannya,

Karyawannya berkata, "Wow, itu adalah sebuah mobil yang menakjubkan!"
Si Bos membalas, "Jika kamu bekerja keras, meluangkan semua waktumu dan berjuang sebaik-baiknya untuk mencapai yang terbaik, saya akan mendapatkannya lagi tahun depan."

Jokes ini mungkin hanya sekedar plesetan saja. Namun, bukan tidak mungkin, ada diantara kita yang menganggap guyonan ini bisa jadi sebuah hal yang terjadi dalam kenyataan.

Di Jepang, ada sebuah konsep yang dinamakan "Ikigai" yang berarti "sebuah alasan untuk menjadi". Dikatakan bahwa "Ikigai" ini adalah rahasia untuk mencapai kehidupan yang panjang dan bahagia.


"Ikigai" terdiri dari empat unsur yakni "pekerjaan", "keahlian", "misi" dan "gairah". Keempat elemen ini harus ada untuk mencapai "Ikigai". Apakah ke-empat elemen ini telah ada di hati kita ketika bekerja di perusahaan yang ditempati saat ini?

Bekerja pada sebuah perusahaan memiliki dinamikanya sendiri. Pada suatu saat, kita mungkin merasa nyaman, namun disaat yang lain bisa jadi kita merasa penuh tekanan. Satu hal yang perlu dipahami adalah bahwa business is business dan perusahaan hanya bisa berjalan jika menghasilkan keuntungan. Bahkan, ada sebuah artikel yang mengatakan bahwa karyawan yang tinggal di perusahaan yang sama selama lebih dari dua tahun dibayar 50% lebih sedikit. Silahkan baca disini.
 
Memiliki konsep "ikigai" penting, namun memperhatikan dinamika yang terjadi ketika bekerja di perusahaan merupakan sebuah hal yang tidak boleh untuk dihiraukan. When things go south, don't hesitate to pack yourself and move!  The focus must be on yourself. 

Terlepas dari apa yang telah kita lakukan, tidak ada garansi bahwa kita akan selalu mendapatkan sesuatu yang fair. Jokes seperti diungkapkan pada bagian awal posting bisa saja terjadi. Salah satu upaya untuk mendapatkan keuntungan adalah dengan menggaji karyawan dengan upah yang lebih rendah. Pay attenttion! Lebih-lebih jika lingkungan kerja anda sekarang membuat anda mengalami perasaan gelisah dan mungkin juga perasaan depresi.

Ada saat-saat ketika kita tidak ingin bekerja, namun kita harus tetap masuk, ada saat ketika kita harus lembur demi mengejar target meskipun merasa lelah dan mungkin juga ada saat ketika ada keluarga kita lebih membutuhkan kita, namun kita tidak ada karena harus bekerja. Yah, Business is business. Namun, terkadang juga lebih dari itu.

Memiliki teman kerja dimana kita bisa saling berbagi keringat dan darah adalah suatu hal yang bagus. Dan, mereka yang ingat kepada anda suatu saat mungkin bisa membantu anda. Ketika mereka mendapat tempat yang bagus di perusahaan lain, mereka bisa jadi akan mengajak anda. Namun, jangan samakan teman kerja anda dengan teman sepergaulan anda. Ada juga diantara teman anda bisa jadi menyalahkan anda ketika ada sesuatu yang tidak beres dalam pekerjaan. Begitupun juga dengan bos anda.  Ingat, tujuan anda dan mereka bekerja di situ adalah untuk mendapatkan SMS dari "Bank" tiap akhir bulan. Tentu tidak ada orang yang ingin kelihatan jelek dalam bekerja, apalagi jika dihadapkan dengan managemen. Apalagi jika terlihat kekanak-kanakan.

Terlepas dari apa yang telah perusahaan berikan, fokus pada diri sendiri harus dimiliki. Orang bisa datang ataupun meloncat dari satu "kapal" ke "kapal" yang lain. Kapal akan tetap meluncur, ada atau tidak ada kita di dalam kapal tersebut. Maka, mata uang yang paling berharga yang bisa kita miliki adalah waktu. Mengetahui kapan kita harus melompat dan bertahan dalam "kapal" bukanlah sebuah ketidakloyalan. Kita tetap "loyal" terhadap sisi profesionalitas kita. Orang bukanlah "komoditas" tetapi ia harus dipandang sebagai individu yang memiliki alasan untuk hidupnya sendiri sebagaimana dalam konsep "ikigai". Lagipula, tidak akan mungkin orang berpindah kapal jika ia merasakan bahwa segala apa yang dibutuhkannya tersedia.

Monday, January 22, 2018

I Thought I Knew : Life as a Story, Bagian-3 (Finale)

Count Dracula: To die, to be really dead, that must be glorious!
Mina : Why, Count Dracula!
Count Dracula: There are far worse things ... awaiting man ... than death. 
Mungkin anda pernah mendengar sebelumnya mengenai Dunning-Kruger Effect. Teori ini mengatakan mengenai sulitnya mengenali kemampuan diri sendiri yang malah terjadi pada orang-orang yang tidak memiliki pengalaman pada suatu bidang atau pada mereka yang baru saja masuk pada sebuah bidang yang baru.

Mereka cenderung memiliki kepercayaan yang sangat tinggi sekali jika dibandingkan dengan orang yang sudah berpengalaman. Bahkan, orang yang berpengalaman saja, hanya memiliki kepercayaan diri sebanding 70% saja jika dibandingkan dengan mereka yang baru pertama kali terjun ke dalam bidang tersebut. Apa yang sebenarnya terjadi tak lain adalah sebuah hasil kerja dari memori kita.

Remembering self berfokus pada memori. Otak manusia selain dipergunakan untuk merekam, ia bisa dipergunakan untuk mengimajinasikan hasil rekaman tersebut, mensintesis barang yang tidak pernah ada atau peristiwa yang tidak pernah terjadi dan hingga memunculkan sebuah ide. Maka, sebagian besar apa yang ada dalam memori kita adalah sebuah fiksi. Konsekuensinya adalah jika kita jarang melatih pikiran kita, resiko terbesarnya adalah hidup kita ini bisa terjebak dalam sebuah delusi. Semakin sedikit informasi yang didapat, akan semakin mudah kita mendapatkan sebuah fiksi. 

Di sisi lain, hidup manusia tidak akan pernah lepas dari cerita yang dibangunnya. Dalam masa-masa ketika beranjak dewasa, para remaja mulai mempersoalkan mengenai jati diri dan tujuan hidup. Untuk makhluk yang dikaruniai anugerah untuk bisa berpikir, hal ini menjadi penting karena akan menjadi titik tolak dalam hidupnya. Untuk hidup diperlukan energi, driving force, komitmen dan bahkan keberanian. Tanpa fiksi yang dibangun dan keyakinan yang mapan dari dalam diri, bagaimana manusia bisa menyatakan bahwa hidup yang ia jalani sekarang adalah hidup yang benar-benar berharga untuk dijalani. Dalam diri manusia ada sosok "aku" yang bersemayam dan selalu menemani.  Sosok "aku" bisa saja terlupakan di kala keramaian. Namun "aku" akan selalu ada dan semakin menunjukkan jati darinya ketika umur kita menua. "Aku" adalah seorang teman dikala diri kita sendirian, tanpa siapapun. "Aku" sanggup menghadapi apapun di dunia ini tetapi ia butuh konteks supaya bisa eksis.

Inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya dimuka bumi. Manusia mampu menahan derita dan menunda gratifikasi jika ia sudah memiliki keinginan yang kuat. Ayam tidak akan pernah bisa dipaksa untuk bisa bertelur setiap hari. Pada akhirnya ia akan mati. Namun, manusia bisa dipaksa untuk menyerahkan semua hartanya dengan cara tertentu. Manusia bisa melakukan dua buah hal yang sama, namun memiliki output perasaan yang berbeda. Ilustrasinya adalah bagaimana kita lebih percaya pada facebook atau google jika dibandingkan dengan pemerintah kita sendiri

Keteguhan dan sifat keras hati adalah hal spesial yang dimiliki oleh manusia. Hal ini adalah sebuah hal yang bagus jika memiliki tujuan yang mulia.  

Hidup tidak selalu menyenangkan. Ada peristiwa naik dan turun dalam kehidupan. Pertanyaan adalah hal abadi dalam diri manusia. Hal ini berfungsi seperti jarum kompas untuk mencari kemana arah kemana manusia melangkah. Utara dan selatan adalah fiksi yang kita bangun. Kompas harus selalu kita kalibrasi dengan pengalaman agar kita tahu apakah arah yang kita tuju apakah the true nord atau magnetic nord

There are far worse things ... awaiting man ... than death. 

Ketakutan terbesar dari manusia adalah bahwa dirinya sudah tidak dibutuhkan lagi. Hal paling penting yang perlu kita ketahui adalah tidak semua manusia sudah memiliki narasi atau tujuan dalam hidupnya. Namun, bagaikan sebuah kertas yang kosong, maka tuliskanlah cerita anda dengan cara membuka diri anda pada dunia ini. Ada banyak rasa yang patut untuk kita rasakan baik yang kelihatan maupun tidak. Lewat rasa itulah, manusia bisa menjadi kecanduan dengan hidup ini dan mampu mengalahkan ketakutan terbesarnya. Sehingga ia bisa merumuskan tujuan dan mengatakan bahwa my life is worth living.

Saturday, January 20, 2018

I Thought I Knew : Life as a Story, Bagian-2

"Should I kill myself? Or, have a cup a coffee" - Albert Camus

Posting sebelumnya, telah dijelaskan mengenai sebuah teka-teki yang seringkali membuat kita bingung dan bisa salah dalam menafsirkan terhadap segala apa yang akan, ingin ataupun sudah kita capai. 

Experiencing self dan juga remembering self adalah dua buah hal yang berbeda. Yang pertama adalah berfokus pada saat ini dan yang kedua berfokus pada masa yang sudah lewat ataupun masa yang akan datang lewat sebuah mekanisme berpikir.

Menginjak tahun yang baru, banyak orang memiliki cita-cita atau target yang ingin dicapainya di tahun yang baru. Rasa-rasanya tidak ada orang satupun di dunia ini yang tidak pernah tidak memiliki cita-cita. Semua manusia pasti memiliki keinginan. 

Ada orang yang berencana menikah ditahun yang baru, ada yang ingin punya jabatan baru, ada yang ingin naik gaji dan ada juga yang sekedar ingin menghilangkan kebiasaan buruk. Dibalik itu semua, jika diambil sebuah kesimpulan bahwa sebenarnya mereka menginginkan akibat. Hal seperti ini timbul dari remembering self. Namun, tidak semua orang bisa mewujudkannya. Sehingga diakhir tahun, mereka masih saja memimpikannya. 

Hidup yang kita jalani sekarang adalah hidup yang kita mau. Jika kita menginginkan tubuh yang ideal, apakah kita sudah benar-benar menjalankan program diet dengan benar? Jika kita ingin menghilangkan kebiasaan buruk, apakah kita sudah memiliki kebiasaan baik untuk menggantikan kebiasaan buruk tersebut? Apa yang kita rasakan ketika mewujudkan cita-cita tersebut, merupakan bagian dari experiencing self.  Terlepas dari apapun kejadian yang tidak bisa kita kontrol, setiap usaha pasti memiliki hasil. Kita mengatakan sukses, jika hasil yang kita capai sesuai dengan yang kita inginkan.

Hal lain yang perlu diketahui adalah setiap keinginan pasti akan memakan ongkos energi. Memikirkan cita-cita atau menentukan pilihan dalam hidup bisa membuat mental kita menjadi terkuras. Hal ini dikenal dengan "decision fatique". Itulah salah satu alasan mengapa CEO dari facebook mengenakan baju yang sama. Hal ini bertujuan supaya dia bisa mengalokasikan energinya untuk membuat keputusan ketika taruhannya tinggi.

Jika mencintai akibat, maka kita harus mencintai sebab. Sebab dan akibat merupakan sebuah satu kesatuan. Hal yang ingin dicapai oleh manusia sebenarnya bukanlah hal yang berwujud fisik. Segala apa yang diinginkan oleh hatilah yang menjadi dasar dari tiap cita-cita kita. Dan, ini semua sangatlah tergantung dari definisi kita akan hidup ini. 

Bagaimanakah kita menterjemahkan arti sebuah kesuksesan itu? Apakah kesuksesan itu didasarkan pada segala apa yang kita punyai, misalkan jabatan yang bagus, istri cantik dsb ataukah didasarkan pada hal sederhana, misalkan dari feeling bahwa kita telah mengerjakan tugas kita dengan baik dan untuk itu, kita wajib berbangga hati terhadap hal tersebut. 

Mana dari dua hal tersebut yang menurut anda lebih sesuai dengan definisi kesuksesan itu? 

Hidup jarang tidak fokus ketika memikirkan bahwa pencapaian hidup selalu diukur dari hal-hal yang bersifat fisik. Semua orang pasti menginginkan hidup yang layak, namun memikirkan bahwa kita harus bekerja keras untuk mencapai hal tersebut, seringkali akan membuat orang hanyut dalam perasaannya. Pikiran jadi melantur kemana-mana. Hal inilah yang mendasari sifat menunda-nunda pekerjaan (procrastination) karena memikirkan apa yang harus kita lakukan saja sudah menguras mental kita. 

"Should I kill myself? Or, have a cup a coffee" ," kata Albert Camus. Antara minum kopi atau bunuh diri bukanlah sebuah pilihan yang bias, namun menandakan sebuah penegasan bahwa kita harus mencari penegasan bahwa hidup yang kita jalani adalah benar-benar sangat berharga. Seteguk kopi yang kita minum dipagi hari memandakan bahwa kita siap untuk menjalani hidup ini. 

Setiap dari kita pasti memiliki cita-cita. Namun, alangkah baiknya jika alih-alih terfokus pada cita-cita tersebut, kita berusaha untuk lebih menikmati perjalanannya karena sebab pasti akan menuntun ke akibat.

Thursday, December 28, 2017

OfficeCorner: Welcome to CorporateLand for New Rats

Disadari atau tidak, sebagian besar umur manusia akan dihabiskan untuk bekerja, entah itu bekerja pada perusahaan sendiri, atau berwirausaha maupun bekerja di sebuah korporasi. Logikanya, pilihan yang nomor dua adalah yang memiliki kuantitas manusia yang lebih besar daripada yang pertama. Kita bekerja dalam sebuah komunitas, memiliki rekan kerja, yang kadang ada yang disukai maupun tidak, selalu membuat laporan yang diserahkan kepada bos kita dan mengikuti agenda dan aturan yang telah dibuat oleh perusahaan


Menginjak umur 22-23 tahun, biasanya kita akan masuk kedalam sebuah workforce. Bagi mereka yang kurang beruntung karena misalkan tidak bisa menempuh pendidikan tinggi, biasanya akan lebih dahulu bergabung ke dalam kelas pekerja dengan jenis pekerjaan yang kebanyakan akan bersifat kasar. 

Sewaktu anda masih belum bekerja, masih dalam masa pendidikan atau pengangguran, pernahkah kita membayangkan kehidupan yang akan kita alami di CorporateLand, dari Senin sampai Jumat, dari pukul sembilan pagi sampai sore, dan bisa jadi anda akan menghabiskan puluhan tahun umur anda untuk mendapatkan kebebasan finansial? Mungkin saja, seumur hidup, kita tidak akan pernah mencapai kebebasan finansial. Secara realistis, bisa kita hitung dari berapa gaji yang kita dapat pertahun dan jumlah pengeluaran untuk kebutuhan. Hal ini bagi sebagian besar orang, tentu sudah mereka pikirkan. 

Aspek keamanan dalam hidup, terutama secara finansial adalah hal yang dikejar oleh setiap orang. Maka dari itu, keamanan dalam hidup juga sangat bergantung dari keamanan dalam pekerjaan, misalkan resiko dari pemecatan. 


Semua yang diutarakan diatas, pada akhirnya akan membuat orang berlomba-lomba untuk mendapatkan apa yang mereka idamkan sebagai The Dream Job, yakni pekerjaan berpenghasilan tinggi, resiko rendah pemecatan, waktu yang fleksibel dan benefit yang lain. Semuanya untuk mengejar keamanan dalam hidup. Pada akhirnya, CorporateLand bisa jadi akan menjadi medan perang antar pekerja, i.e: saling berebut untuk mendapatkan kepercayaan si bos, peningkatan performa sehingga bisa naik jabatan/ gaji, etc. Hal ini bisa diibaratkan bekerja di CorporateLand berada dalam sebuah "rat race", sebuah pengejaran melelahkan, repetitif, membosankan, yang menguras pikiran dan waktu demi mendapatkan salah satunya adalah rasa aman berupa kebebasan fnansial. Selain itu ada juga rasa gengsi, dan masih banyak lagi. Sehingga tidak ada waktu untuk relaks, atau bekerja tanpa rasa enjoy. Hal ini biasa terjadi pada perusahaan yang mematok target dan deadline dimana juga terjadi persaingan antar perusahaan. Rasa kepuasaan hanya bisa didapat ketika telah memenuhi target dan mendapatkan bonus baik itu apresiasi dari bosa maupun kenaikan gaji/ pangkat.

Dalam rat race tersebut, juga tidak jarang kita menjadi korban, misalkan stress, emosi naik turun, rekan kerja menjatuhkan kita di hadapan bos dengan mencari alasan untuk menutupi kekurangan mereka, bahkan hingga kita harus menderita sakit. Bagi para new rat, fresh graduate, atau newcomer lingkungan CorporateLand bisa jadi akan membingungkan mereka. 

Sebagian besar waktu dan pikiran telah dihisap dari hidup mereka untuk bekerja yang entah sampai kapan mereka masih harus bergantung. Belum lagi, jika hak mereka masih harus dimanfaatkan oleh rekan kerja yang lebih senior, perusahaan mereka, bos mereka, hingga bahkan oleh pemerintah. 

Sometimes, CorporateLand is like a warfare. Seri "OfficeCorner" pada blog ini akan menyajikan sebuah insight menghadapi Warfare dalam CorporateLand dengan tujuan untuk survive dengan damage seminimal mungkin dan sekaligus memaksimalkan kesempatan yang ada untuk memenangkan setiap pertempuran. 
The problem with everybody who knows about the Game is sometimes the don't know about the Rules. Welcome to OfficeCorner Series.  
NOTE: Tidak semua dari anda akan setuju dan mengikuti apa yang ditulis di seri "OfficeCorner", namun paling tidak akan memberikan sebuah pengetahuan dalam hidup anda. Cheers